Kehidupan Imam
Syafi’i
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni.
Kecerdasannya
inilah yang membuat dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk
di kursi mufti kota Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas
menuntut ilmu karena semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak
yang belum beliau mengerti, sehingga tidak mengherankan bila guru Imam Syafi’i
begitu banyak jumlahnya sama dengan banyaknya para muridnya.
Kontribusi Imam
Syafi’i
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut, pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam, karena itu, menurut beliau setiap hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum islam.
“Aku sering tidur dan bermalam di rumah As Syafi’i. Beliau tidak tidur di malam hari kecuali sebentar”, kata Ar Rabi’ bin Sulaiman, murid Imam As Syafi’i.
Ar Rabi’ juga mengisahkan,”As Syafi’i membagi malam menjadi tiga. Sepertiga malam pertama untuk menulis, sepertiga ke dua untuk shalat, dan sepertiga terakhir untuk tidur”.
Maka kedaanya berkata satu sama lain, “mari kita uji firasat mengenai profesi orang ini.” Salah satu dari keduanya mengatakan,”ia seorang penjahit.” Yang lain mengatakan,”ia tukang kayu.”
Laki-laki itu pun menyatakan,”dulu aku penjahit, namun kini aku seorang tukang kayu.”
Di kesempatan lain Imam As Syafi’i ketika bertemu seseorang, ia berfirasat seakan-akan melihat dengan cahaya Allah.
“Engkau penduduk Shana’a?” Tanya Imam As Syafi’i. “Ya.” Jawab laki-laki tersebut.
“Engkau seorang pandai besi?” Tanya Imam As Syafi’i lagi. “Ya.” Jawab laki-laki itu.
Imam As Syafi’i pun melihat laki-laki itu dengan kemampuan firasatnya yang kuat, ia menemui bahwa laki-laki itu memiliki perangai yang amat buruk.
Namun karena terpaksa, Imam As Syafi’i pun bertanya kepada lelaki tersebut,”apakah ada rumah untuk disinggahi?”
“Ya”, laki-laki itu pun mengiyakan.
Laki-laki itu
pun lantas mempersilahkan Imam As Syafi’i bermalam di rumahnya, ia amat
memuliakan Imam As Syafi’i. Laki-laki itu juga menghidangkan makan malam dan
makanan lainnya yang lezat untuk Imam As Syafi’i dan budaknya tersebut.
Bahkan
laki-laki itu juga memberi makanan untuk hewan tunggangan Imam As Syafi’i dan
memberikan alas tidur dan bantal. Melihat perbuatan itu, Imam As Syafi’i merasa
kebingungan, karena laki-laki ini menurut firasatnya adalah laki-laki yang
berperangai paling buruk.
Di pagi harinya, Imam As Syafi’i pun berterima kasih kepada lelaki tersebut. Sebelum berniat untuk pergi Imam As Syafi’i menemui laki-laki itu.”Jika Anda pergi ke Makkah dan melalaui Dzu Thuwa, maka tanyalah rumah Muhammad bin Idris As Syafi’i”, kata Imam As Syafi’i. Ia bermaksud untuk membalas kebaikan lelaki tersebut.
“Apakah engkau seorang sahaya?” Tanya lelaki itu kepada Imam As Syafi’i.
“Tidak”, jawab Imam As Syafi’i.
“Apakah aku memiliki tanggungan harta terhadapmu?”
“Tidak”, Imam As Syafi’i menjawab dengan kebingungan mengenai maksud pertanyaan-pertanyaan itu.
“Kalau begitu, berikan kepadaku ganti atas apa yang aku berikan kepadamu tadi malam.” Laki-laki itu mulai menampakkan perangai buruknya.
“Apa itu?” Tanya Imam As Syafi’i.
“Aku telah membelikan untukmu makanan dengan dua dirham, serta lauk dengan harga sekian, minyak wangi dengan tiga dirham, juga makanan tungganganmu dua dirham, sewa alas tidur dan bantal dua dirham,” kata laki-laki itu memperinci.
“Wahai anak muda sila beri ya.” Kata Imam As Syafi’i kepada budak yang menyertainya.
Di pagi harinya, Imam As Syafi’i pun berterima kasih kepada lelaki tersebut. Sebelum berniat untuk pergi Imam As Syafi’i menemui laki-laki itu.”Jika Anda pergi ke Makkah dan melalaui Dzu Thuwa, maka tanyalah rumah Muhammad bin Idris As Syafi’i”, kata Imam As Syafi’i. Ia bermaksud untuk membalas kebaikan lelaki tersebut.
“Apakah engkau seorang sahaya?” Tanya lelaki itu kepada Imam As Syafi’i.
“Tidak”, jawab Imam As Syafi’i.
“Apakah aku memiliki tanggungan harta terhadapmu?”
“Tidak”, Imam As Syafi’i menjawab dengan kebingungan mengenai maksud pertanyaan-pertanyaan itu.
“Kalau begitu, berikan kepadaku ganti atas apa yang aku berikan kepadamu tadi malam.” Laki-laki itu mulai menampakkan perangai buruknya.
“Apa itu?” Tanya Imam As Syafi’i.
“Aku telah membelikan untukmu makanan dengan dua dirham, serta lauk dengan harga sekian, minyak wangi dengan tiga dirham, juga makanan tungganganmu dua dirham, sewa alas tidur dan bantal dua dirham,” kata laki-laki itu memperinci.
“Wahai anak muda sila beri ya.” Kata Imam As Syafi’i kepada budak yang menyertainya.
Kemudian Imam
As Syafi’i pun menghampiri laki-laki itu dengan tersenyum karena mengetahui
firasatnya tepat.
“Ada lagi yang
lain?” Tanya Imam As Syafi’i.
“Ya, sewa
rumah. Aku telah menyediakan untukmu sedangkan aku sendiri merasa kesempitan.”
Jawab laki-laki itu.
“Di waktu seperti ini Anda mengkaji Al Qur`an?” Tanya lelaki itu terheran.
“Sesungguhnya aku melakukan hal ini sejak setelah shalat isya. Aku mengkaji mengenai hukum-hukum di Al Qur`an”, jawab Imam As Syafi’i.
Imam As Syafi’i kala itu duduk bersama Khalifah Al Ma’mun. Namun tiba-tiba Al Ma’mun bertanya kepada Imam As Syafi’i,”Wahai Muhammad, untuk Allah menciptakan lalat?”
"Untuk menghinakan para raja wahai Amirul Mu’minin.” Jawaban yang tiba-tiba terbesit di fikaran Imam As Syafi’i itu disampaikan.
Al Ma’mun pun tertawa. “Engkau menyaksikan ada seekor lalat hinggap di pipiku?” Tanya Al Ma’mun.
“Benar Amirul
Mu’minin. Anda bertanya kepada saya namun saya tidak memiliki jawaban. Dan hal
itu membuatku tersentak. Dan ketika aku menyaksikan ada seekor lalat hinggap di
tempat yang tidak boleh disuntuh oleh siapa saja meski ia didukung oleh ratusan
ribu pedang dan anak panah, maka dari itu aku pun memperoleh jawabannya.”
Khalifah Al Makmun pun menyampaikan rasa takjubnya dengan kecerdasan Imam As Syafi’i.
Khalifah Al Makmun pun menyampaikan rasa takjubnya dengan kecerdasan Imam As Syafi’i.
Sebelum memasuki kota Makkah, Imam As Syafi’i pun mendirikan tenda lalu menyebarkan dinar-dinar itu untuk siapa saja yang membutuhkan serta untuk para musafir dan penuntut ilmu.
Orang-orang itu pun datang kepada Imam As Syafi’i dan mengambil dinar sesuai dengan keinginan mereka. Dan ia tidak meninggalkan tempat itu kecuali dinar-dinar sudah terbagikan seluruhnya.*
1 comment:
Post a Comment