Friday, September 21, 2018

MALIK BIN DINAR AL SAMI'

Malik bin Dinar al-Sami’ Putera seorang budak berbangssa Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid Hasan al-Bashri. Ia terhitung sebagai ahli Hadits Shahih dan merawikan Hadits dari tokoh-tokoh kepercayan di masa lampau seperti Anas bin Malik dan Ibnu Sirin

Malik bin Dinar adalah seorang Kaligrafi al-Qur’an yang terkenal. Ia meninggal sekitar tahun 130 H/748 M.

 
MENGAPA IA DINAMAKAN MALIK BIN DINAR DAN BAGAIMANA IA SAMPAI BERTAUBAT

Ketika Malik dilahirkan, ayahnya adalah seorang budak tetapi Malik adalah seorang yang erdeka. Orang-orang mengishkan bahwa pada suatu ketika Malik bin Dinar menumpang sebuah perahu.

Setelah berada di tengah lautan, awak-awak perahu meminta : “Bayar lah ongkos perjalananmu!.”

“Aku tak mempunyai uang.” Jawab Malik.

Awak-awak perahu memukulnya hingga ia pingsan. Ketika Malik siuman, mereka meminta lagi :

”Bayarlah ongkos perjalananmu!.”

“Aku tidak mempunyai uang,” jawab Malik sekali lagi, dan untuk kedua kalinya mereka memukulnya hingga pingsan.

Ketika Malik siuman kembali maka untuk ketiga kalinya mereka mendesak.

“Bayarlah ongkos perjalananmu!.”

“Aku tidak mempunyai uang.”

“Marilah kita pegang kedua kakinya dan kita lemparkan dia ke laut,” pelaut-pelaut tersebut berseru.

Saat itu juga semua ikan di laut mendongakkan kepala meraka ke permukaan air dan masing-masing membawa dua keping dinar emas di mulutnya. Malik menjulurkan tangan, dari mulut seekor ikan diambilnya dua dinar dn uang itu diberikannya kepada awak-awak perahu, Melihat kejadian ini pelaut-pelaut tersebut segera berlutut. Dengan berjalan di atas air, Malik kemudian meninggalkan perahu tersbut. Inilah penyebab mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar.

Tentang pertaubatan Malik bin Dinar, kisahnya adalah sebagai berikut. Ia adalah seorang lelaki yang sangat tampan, gemar bersenang-senang dan memiliki harta kekayaan yang berlimpah-limpah. Malik tinggal di Damaskus di mana golongan Mu’amiyah telah membangun sebuha masjid yang besar dan mewah. Malik ingin sekali diangkat sebagai pengurus masjid tersebut. Maka pergilah ia ke masjid itu. Di pojok ruangan masjid itu dibentangkannya sajadahnya dan di situlah ia selama setahun terus menerus melakukan ibadah sambil berharap agar setiap orang akan melihatnya sedang melakukan shalat.“alangkah munafiknya engkau ini,” ia selalu berkata kepda dirinya sendiri.

Setahun telah berlalu. Apabila hari telah malam. Malik keluar dari masjid itu dan pergi bersenang-senang.

Pada suatu malam ketika ia asedang menikmati musik di kala semua teman-temannya telah tertidur, tiba-tiba dari kecapi yang sedang dimainkannya terdengar sebuah suara : “Malik, mengapakah engkau belum juga bertaubat?” Mendengar kata-kata yang ssangat menggetarkan hati ini, Malik segeralmelemparkan kecapinya dan berlari ke masjid.

“Selama setahun penuh akau telah menyembah Allah secara munafiq,” ia berkata kepada dirinya sendiri. “Bukankah lebih baik jika aku menyembah Allah dengan sepenuh hati? Aku malu. Apakah yag harus ku lakukan? Seandainya orang-orang hendak mengangkatku sebagai pengurus masjid, aku tidak akan mau menerimanya.” Ia bertekad dan berkhusyuk kepada Allah. Pada malam itulah uantuk pertama kalinya shalat dengan sepenuh keikhlasan.

Keesokan harinya, seperti biasa, orang-orang berkumpul di depan masjid.

“Hai, lihatlah dinding masjid telah retak-retak,” mereka berseru. “Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaiki masjid ini.” Maka mereka bersepakat bahwa yang paling tepat menjadi pengawa masjid itu adalah Malik. Segera mereka mendatangi Malik yang ketika itu sedang shalat. Dengan sabar mereka menunggu Malik menyelesaikan shalat-nya.

“Kami datang untuk memintamu agar sudi menerimma pengangkatan kami ini,” mereka berkata.

"Ya Allah,” seru Malik, “Setahun penuh aku menyembah-Mu seara munafik dan tak seorang pun yang memandang diriku. Kini setelah diberikan jiwaku kepada-Mu dan bertekad bahwa aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku, Engaku menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas tersebu ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku ini.”

Malik berlari meninggalkan masjid itu, kemudian menyibukkan diri beribadah kepada Allah, dan menjalani hidup prihatin serta penuh ddisiplin. Ia menjadi seorang yang terhormat dan saleh. Ketika seorang hartawan kota Bashrah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang puteri yang cantik, si puteri mendatangi Tsabit al-Bunani untuk memohon pertolongan.

“Aku ingin menjadi istri Malik,” katanya, “sehingga ia dapat menolongku di dalam mematuhi perintah-perintah Allah.”

Keinginan dari dara ini disampaikan Tsabit kepada Malik.

“Aku telah menjatuhkan thalaq kepada dunia,” jawab Malik.

“Wanita itu adalah milik dunia yang telah ku thalaq, karena itu aku tidak adapt menikahinya.”
 

MALIK DAN TETANGGANYA YANG UGAL-UGALAN

Ada seorang pemuda tetangga Malik, tingkah lakunya sangat berandal dan mengganggu ketentraman. Malik sering terganggu oleh tingkah laku si pemuda berandal ini, namun dengan sabar ia menunggu agar ada orang lain yang tampil untuk menegur si pemuda tersebut. Tetapi orang-orang menghadap Malik dengan keluhan-keluhan mereka terhadap si pemuda. Maka pergilah Malik mendatangi pemuda itu dan meminta agar ia merubah tingkah lakunya.

Dengan bandel dan seenaknya sei pemuda menjawab : “Aku adalah kesayangan sultan dan tidak seorang pun dapat melarang atau mencegahku untuk berbuat sekehendak hatiku.”

“Aku akan mengadu kepada sultan,” Malik mengancam.

“Sultan tidak akan mencela diriku,” jawab di pemuda. “Apa pun yang ku lakukan, sultan akan menyukainya.”

“Baiklah, jika sultan tidak dapat berbuat apa-apa,” Malik meneruskan ancamannya,

“aku akan mengadu kepada Yang Maha Pengasih,” sambil menunjuk ke atas.“Allah?”, jawab si pemuda. “Ia terlampau Pengasih untuk menghukum diri ku ini.”

Jawaban ini membuat Malik bungkam, tak dapat mengatakan apa-apa. Si pemuda ditinggalkannya. Beberapa hari berlalu dan tingkah si pemuda benar-benar telah melampaui batas. Sekali lagi Malik pergi untuk menegus si pemuda, tetapi di tengah perjalanan Malik mendengar seruan yang ditujukan kepadanya : “Jangan engkau sentuh sahabat-Ku itu!.”

Masih dalam keadaan terkejut dan gemetar Malik menjumpai si pemuda.

Melihat kedatangan Malik, si pemuda menyentak : “Apa pulakah yang telah terjadi sehingga engkau datan ke sini untuk ke dua kalinya?”

Malik menjawab : “Kali ini aku datang bukan untuk mencela tingkah lakumu. Aku datang semata-mata untuk menyampaikan kepadamu bahwa aku teah mendengar seruan yang mengatakan .....”

Si pemuda berseru : “Wahi! Kalau begitu halnya, maka gedung ku ini akan kujadikan sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya. Aku tidak perduli lagi dengan semua harta kekayaan ku ini.”

Setelah berkata demikian ia pun pergi dan meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan memulai pengembaraan di atas dunia ini.

Malik mengisahkan bahwa beberapa lama kemudian di kota Mekkah ia bersua dengan pemuda tersebut dalam keadaan terlunta-lunta menjelang akhir hayatnya.

“Ia adalah sahabatku” si pemuda berkata dengan terengah-engah. “Aku akan menemui sahabatku.” Setelah berrkata demikian ia lalu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

 
MALIK DAN HIDUP BERPANTANGNYA

Telah bertahun-tahun bibir malik tidak dilewati makanan yang manis maupun yang asam. Setiap malam ia pergi ke tukang roti dan membeli dua potong roti untuk membuka puasanya. Kadan-kadang roti yang dibelinya itu masih terasa hangat; dan ini menghibur hatinya dan dianggapnya sebagai perangssang selera.

Pada suatu hari Malik jatuh sakit dan ia sangat ingin memakan daging. Sepuluh hari lamanya keinginan itu dapat ditndasnya. Swaktu ia tidak dapat bertahan lebih lama lagi, maka pergilah ia ke toko makanan untuk membeli dua tiga potong kaki domba dan menyembunyikan kaki domba tersebut di lengan bajunya. 

Si pemilik toko menyuruh seorang pelayannya membuntuti Malik untuk menyelidiki apa yang hendak dilakukannya. Tidak berapa lama kemudian si pelayan kembali dengan air mata berrlinang. Si pelayan memberikan laporannya :  “Dari sini ia pergi ke sebua tepat yang sepi. Di tempat itu dikeluarkannya kaki-kai domba itu, diciumnya dan ia berkata kepada dirinya sendiri. “Lebih dari pada ini bukanlah hakmu.” Kemudian diberikannya roti dan kaki-kai domba terebut kepada seorang pengemis. Kemudian ia berkata pula kepada dirinya sendiri : “Wahai jasmani yang lemah, jangan kau sangka bahwa aku menyakitimu karena benci kepadamu. Hal ini ku lakukan agar pada hari Berbangkit nanti, engkau tidak dibakar di dlam api neraka. Bersabarlah beberapa hari lagi, karena pada saat itu godaan ini mungkin terlah berhenti dan engka akan mendapatkan kebahagiaan yang abadi.”

Pada suatu ketika Malik bin Dinar berkata : “Aku tidak mengerti apakah maksudnya ucapan : “bila seseorang tidak memakan daging  selama empat puluh hari maka kecerdasan akalnya akan berkurang! Aku sendiri tidak pernah makan daging selama dua puluh tahun, tetapi kian lama kecerdasan akalku makin bertambah juga.”

Selama empat puluh tahun Malik tinggal di kota Bashrah dan selama itu pula ia tidak pernah memakan buah korma yang segar. Apabila musim korma tiba, ia berkata : Wahai penduduk kota Bashrah,  saksikanlah betapa perutku tidak menjadi kempis karena tidak memakan buah korma dan betapa perut kalian tidak gembung karena setiap hari memakan buah korma.”

Namun setelah empat puluh tahun lamanya, batinnya diserang kegelisahan. Betapapun usahanya namun keinginannya untuk memakan buah korma segar tidak dapat ditindasnya lagi. Akhirnya setelah beberapa hari berlalu, keinginan tersebut kian menjadi-jadi walaupun tak pernah di kabulkannya, dan Malik akhirnya tak berdaya untuk menolak desakan nafsu itu.

“aku tidak mau memakan buah korma,” ia menyangkal keinginannya sendiri.” Lebih baik aku di bunuh atau mati.”

Malam itu terdengarlah suara yang berrkata : “Engkau harus memakan buah korma. Bebaskan jasmanimu dari kungkungan,”

Mendengar suara ini jasmaninya yang merasa memperoleh kesempatan itu mulai menjerit-jerit.

“Jika engkau menginginkan buah kurma,” Malik menyentak, “Berpuasalah terus menerus selama satu minggu dan shlat-lah sepanjang malam, setelah itu barulah akan kuberikan buah kurma kepada mu.”

Ucapan ini membuat jasmaninya senang. Dan seminggu penuh ia shalat sepanjang malam dan berpuasa setiap hari. Setelah itu ia pergi ke pasar, membeli beberapa buah korma, kemudian pergi ke masjid untuk memakan buah korma tersebut di atas.

Tetapi dari loteng sebuah rumah, seorang bocah berseru : “Ayah! Seorang Yahudi membeli korma dan hendak memakannya di dalam masjid.”

“Apa pula ayng hendak dilakukan Yahudi itu di dalam masjid?” si ayah menggerutu dan begegas untuk melihat siapakah Yahudi yang dimaksud anaknya itu. Tetapi begitu melihat Malik, ia lantas berlutut.

‘Apakah artinya kata-kata yang diucapkan anak itu?” Malik mendesak.

“Maafkan lah ia guru,” si ayah memohon, “Ia masih anak-anak dan tidak mengerti. Di sekitar ini banyak orang-orang Yahudi. Kami selalu berpuasa dan anak-anak kami menyaksikan beberapa orang-orang Yahudi makan di siang hari. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa setiap orang yang makan di siang hari adalah seorang Yahudi. Apa-apa yang telah diucapkannya, adalah karena kebodohannya. Maafkan lah dia.”

Mendengar penjelasan tersebut Malik sangat mmenyesal. Ia menyadari bahwa anak itu telah di dorong Allah untuk mengucapkan kata-kata itu.

“Ya Allah,” seru Malik, “sebuah korma pun belum sempat ku makan dan Engkau menyebutku Yahudi melalui lidah seorrang anak yang tak berdosa. Seandainya korma-korma ini sempat termakan oleh ku niscaya Engkau akan menyatakan diriku sebagai seorang kafir. Demi kebesaran-Mu aku bersumpah tidak akan memakan buah korma untuk selama-lamanya. 

No comments: