Malik
bin Dinar al-Sami’ Putera seorang budak berbangssa Persia dari Sijistan (Kabul)
dan menjadi murid Hasan al-Bashri. Ia terhitung sebagai ahli Hadits Shahih dan
merawikan Hadits dari tokoh-tokoh kepercayan di masa lampau seperti Anas bin
Malik dan Ibnu Sirin
Malik
bin Dinar adalah seorang Kaligrafi al-Qur’an yang terkenal. Ia meninggal
sekitar tahun 130 H/748 M.
MENGAPA
IA DINAMAKAN MALIK BIN DINAR DAN BAGAIMANA IA SAMPAI BERTAUBAT
Ketika Malik dilahirkan, ayahnya adalah seorang budak tetapi Malik adalah
seorang yang erdeka. Orang-orang mengishkan bahwa pada suatu ketika Malik bin
Dinar menumpang sebuah perahu.
Setelah
berada di tengah lautan, awak-awak perahu meminta : “Bayar lah ongkos
perjalananmu!.”
“Aku
tak mempunyai uang.” Jawab Malik.
Awak-awak
perahu memukulnya hingga ia pingsan. Ketika Malik siuman, mereka meminta lagi :
”Bayarlah
ongkos perjalananmu!.”
“Aku
tidak mempunyai uang,” jawab Malik sekali lagi, dan untuk kedua kalinya mereka
memukulnya hingga pingsan.
Ketika Malik siuman kembali maka untuk ketiga kalinya mereka mendesak.
“Bayarlah
ongkos perjalananmu!.”
“Aku
tidak mempunyai uang.”
“Marilah kita pegang kedua kakinya dan kita lemparkan dia ke laut,”
pelaut-pelaut tersebut berseru.
Saat
itu juga semua ikan di laut mendongakkan kepala meraka ke permukaan air dan
masing-masing membawa dua keping dinar emas di mulutnya. Malik menjulurkan
tangan, dari mulut seekor ikan diambilnya dua dinar dn uang itu diberikannya
kepada awak-awak perahu, Melihat kejadian ini pelaut-pelaut tersebut segera
berlutut. Dengan berjalan di atas air, Malik kemudian meninggalkan perahu
tersbut. Inilah penyebab mengapa ia dinamakan Malik bin Dinar.
Tentang pertaubatan Malik bin Dinar, kisahnya adalah sebagai berikut. Ia
adalah seorang lelaki yang sangat tampan, gemar bersenang-senang dan memiliki
harta kekayaan yang berlimpah-limpah. Malik tinggal di Damaskus di mana
golongan Mu’amiyah telah membangun sebuha masjid yang besar dan mewah. Malik
ingin sekali diangkat sebagai pengurus masjid tersebut. Maka pergilah ia ke
masjid itu. Di pojok ruangan masjid itu dibentangkannya sajadahnya dan di
situlah ia selama setahun terus menerus melakukan ibadah sambil berharap agar
setiap orang akan melihatnya sedang melakukan shalat.“alangkah munafiknya
engkau ini,” ia selalu berkata kepda dirinya sendiri.
Setahun telah berlalu. Apabila hari telah malam. Malik keluar dari masjid
itu dan pergi bersenang-senang.
Pada
suatu malam ketika ia asedang menikmati musik di kala semua teman-temannya
telah tertidur, tiba-tiba dari kecapi yang sedang dimainkannya terdengar sebuah
suara : “Malik, mengapakah engkau belum juga bertaubat?” Mendengar kata-kata yang
ssangat menggetarkan hati ini, Malik segeralmelemparkan kecapinya dan berlari
ke masjid.
“Selama
setahun penuh akau telah menyembah Allah secara munafiq,” ia berkata kepada
dirinya sendiri. “Bukankah lebih baik jika aku menyembah Allah dengan sepenuh
hati? Aku malu. Apakah yag harus ku lakukan? Seandainya orang-orang hendak
mengangkatku sebagai pengurus masjid, aku tidak akan mau menerimanya.” Ia
bertekad dan berkhusyuk kepada Allah. Pada malam itulah uantuk pertama kalinya
shalat dengan sepenuh keikhlasan.
Keesokan
harinya, seperti biasa, orang-orang berkumpul di depan masjid.
“Hai,
lihatlah dinding masjid telah retak-retak,” mereka berseru. “Kita harus
mengangkat seorang pengawas untuk memperbaiki masjid ini.” Maka mereka
bersepakat bahwa yang paling tepat menjadi pengawa masjid itu adalah Malik.
Segera mereka mendatangi Malik yang ketika itu sedang shalat. Dengan sabar
mereka menunggu Malik menyelesaikan shalat-nya.
“Kami datang untuk memintamu agar sudi menerimma pengangkatan kami ini,”
mereka berkata.
"Ya
Allah,” seru Malik, “Setahun penuh aku menyembah-Mu seara munafik dan tak
seorang pun yang memandang diriku. Kini setelah diberikan jiwaku kepada-Mu dan
bertekad bahwa aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku, Engaku menyuruh
dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas tersebu ke leherku. Demi
kebesaran-Mu, aku tidak menginginkan pengangkatan atas diriku ini.”
Malik
berlari meninggalkan masjid itu, kemudian menyibukkan diri beribadah kepada
Allah, dan menjalani hidup prihatin serta penuh ddisiplin. Ia menjadi seorang
yang terhormat dan saleh. Ketika seorang hartawan kota Bashrah meninggal dunia
dan ia meninggalkan seorang puteri yang cantik, si puteri mendatangi Tsabit
al-Bunani untuk memohon pertolongan.
“Aku
ingin menjadi istri Malik,” katanya, “sehingga ia dapat menolongku di dalam
mematuhi perintah-perintah Allah.”
Keinginan
dari dara ini disampaikan Tsabit kepada Malik.
“Aku
telah menjatuhkan thalaq kepada dunia,” jawab Malik.
“Wanita
itu adalah milik dunia yang telah ku thalaq, karena itu aku tidak adapt
menikahinya.”
MALIK DAN TETANGGANYA YANG UGAL-UGALAN
Ada
seorang pemuda tetangga Malik, tingkah lakunya sangat berandal dan mengganggu
ketentraman. Malik sering terganggu oleh tingkah laku si pemuda berandal ini,
namun dengan sabar ia menunggu agar ada orang lain yang tampil untuk menegur si
pemuda tersebut. Tetapi orang-orang menghadap Malik dengan keluhan-keluhan
mereka terhadap si pemuda. Maka pergilah Malik mendatangi pemuda itu dan
meminta agar ia merubah tingkah lakunya.
Dengan bandel dan seenaknya sei pemuda menjawab : “Aku adalah kesayangan
sultan dan tidak seorang pun dapat melarang atau mencegahku untuk berbuat
sekehendak hatiku.”
“Aku
akan mengadu kepada sultan,” Malik mengancam.
“Sultan
tidak akan mencela diriku,” jawab di pemuda. “Apa pun yang ku lakukan, sultan
akan menyukainya.”
“Baiklah,
jika sultan tidak dapat berbuat apa-apa,” Malik meneruskan ancamannya,
“aku akan mengadu kepada Yang Maha Pengasih,” sambil menunjuk ke atas.“Allah?”,
jawab si pemuda. “Ia terlampau Pengasih untuk menghukum diri ku ini.”
Jawaban ini membuat Malik bungkam, tak dapat mengatakan apa-apa. Si pemuda
ditinggalkannya. Beberapa hari berlalu dan tingkah si pemuda benar-benar telah
melampaui batas. Sekali lagi Malik pergi untuk menegus si pemuda, tetapi di
tengah perjalanan Malik mendengar seruan yang ditujukan kepadanya :
“Jangan engkau sentuh sahabat-Ku itu!.”
Masih dalam keadaan terkejut dan gemetar Malik menjumpai si pemuda.
Melihat kedatangan Malik, si pemuda menyentak : “Apa pulakah yang telah
terjadi sehingga engkau datan ke sini untuk ke dua kalinya?”
Malik
menjawab : “Kali ini aku datang bukan untuk mencela tingkah lakumu. Aku datang
semata-mata untuk menyampaikan kepadamu bahwa aku teah mendengar seruan yang
mengatakan .....”
Si
pemuda berseru : “Wahi! Kalau begitu halnya, maka gedung ku ini akan kujadikan
sebagai tempat untuk beribadah kepada-Nya. Aku tidak perduli lagi dengan semua
harta kekayaan ku ini.”
Setelah berkata demikian ia pun pergi dan meninggalkan segala sesuatu yang
dimilikinya dan memulai pengembaraan di atas dunia ini.
Malik
mengisahkan bahwa beberapa lama kemudian di kota Mekkah ia bersua dengan pemuda
tersebut dalam keadaan terlunta-lunta menjelang akhir hayatnya.
“Ia
adalah sahabatku” si pemuda berkata dengan terengah-engah. “Aku akan menemui
sahabatku.” Setelah berrkata demikian ia lalu menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
MALIK DAN HIDUP BERPANTANGNYA
Telah
bertahun-tahun bibir malik tidak dilewati makanan yang manis maupun yang asam.
Setiap malam ia pergi ke tukang roti dan membeli dua potong roti untuk membuka
puasanya. Kadan-kadang roti yang dibelinya itu masih terasa hangat; dan ini
menghibur hatinya dan dianggapnya sebagai perangssang selera.
Pada suatu hari Malik jatuh sakit dan ia sangat ingin memakan daging.
Sepuluh hari lamanya keinginan itu dapat ditndasnya. Swaktu ia tidak dapat
bertahan lebih lama lagi, maka pergilah ia ke toko makanan untuk membeli dua
tiga potong kaki domba dan menyembunyikan kaki domba tersebut di lengan bajunya.
Si
pemilik toko menyuruh seorang pelayannya membuntuti Malik untuk menyelidiki apa
yang hendak dilakukannya. Tidak berapa lama kemudian si pelayan kembali dengan
air mata berrlinang. Si pelayan memberikan laporannya : “Dari sini ia
pergi ke sebua tepat yang sepi. Di tempat itu dikeluarkannya kaki-kai domba
itu, diciumnya dan ia berkata kepada dirinya sendiri. “Lebih dari pada ini
bukanlah hakmu.” Kemudian diberikannya roti dan kaki-kai domba terebut kepada
seorang pengemis. Kemudian ia berkata pula kepada dirinya sendiri : “Wahai
jasmani yang lemah, jangan kau sangka bahwa aku menyakitimu karena benci
kepadamu. Hal ini ku lakukan agar pada hari Berbangkit nanti, engkau tidak
dibakar di dlam api neraka. Bersabarlah beberapa hari lagi, karena pada saat
itu godaan ini mungkin terlah berhenti dan engka akan mendapatkan kebahagiaan
yang abadi.”
Pada suatu ketika
Malik bin Dinar berkata : “Aku tidak mengerti apakah maksudnya ucapan : “bila
seseorang tidak memakan daging selama empat puluh hari maka kecerdasan
akalnya akan berkurang! Aku sendiri tidak pernah makan daging selama dua puluh
tahun, tetapi kian lama kecerdasan akalku makin bertambah juga.”
Selama
empat puluh tahun Malik tinggal di kota Bashrah dan selama itu pula ia tidak
pernah memakan buah korma yang segar. Apabila musim korma tiba, ia berkata :
Wahai penduduk kota Bashrah, saksikanlah betapa perutku tidak menjadi
kempis karena tidak memakan buah korma dan betapa perut kalian tidak gembung
karena setiap hari memakan buah korma.”
Namun
setelah empat puluh tahun lamanya, batinnya diserang kegelisahan. Betapapun
usahanya namun keinginannya untuk memakan buah korma segar tidak dapat
ditindasnya lagi. Akhirnya setelah beberapa hari berlalu, keinginan tersebut
kian menjadi-jadi walaupun tak pernah di kabulkannya, dan Malik akhirnya tak
berdaya untuk menolak desakan nafsu itu.
“aku tidak mau memakan buah korma,” ia menyangkal keinginannya sendiri.”
Lebih baik aku di bunuh atau mati.”
Malam itu terdengarlah suara yang berrkata : “Engkau harus memakan buah
korma. Bebaskan jasmanimu dari kungkungan,”
Mendengar suara ini jasmaninya yang merasa memperoleh kesempatan itu mulai
menjerit-jerit.
“Jika
engkau menginginkan buah kurma,” Malik menyentak, “Berpuasalah terus menerus
selama satu minggu dan shlat-lah sepanjang malam, setelah itu barulah akan
kuberikan buah kurma kepada mu.”
Ucapan
ini membuat jasmaninya senang. Dan seminggu penuh ia shalat sepanjang malam dan
berpuasa setiap hari. Setelah itu ia pergi ke pasar, membeli beberapa buah
korma, kemudian pergi ke masjid untuk memakan buah korma tersebut di atas.
Tetapi dari loteng sebuah rumah, seorang bocah berseru : “Ayah! Seorang
Yahudi membeli korma dan hendak memakannya di dalam masjid.”
“Apa pula ayng hendak dilakukan Yahudi itu di dalam masjid?” si ayah
menggerutu dan begegas untuk melihat siapakah Yahudi yang dimaksud anaknya itu.
Tetapi begitu melihat Malik, ia lantas berlutut.
‘Apakah artinya kata-kata yang diucapkan anak itu?” Malik mendesak.
“Maafkan lah ia guru,”
si ayah memohon, “Ia masih anak-anak dan tidak mengerti. Di sekitar ini banyak
orang-orang Yahudi. Kami selalu berpuasa dan anak-anak kami menyaksikan
beberapa orang-orang Yahudi makan di siang hari. Oleh karena itu mereka
berpendapat bahwa setiap orang yang makan di siang hari adalah seorang Yahudi.
Apa-apa yang telah diucapkannya, adalah karena kebodohannya. Maafkan lah dia.”
Mendengar penjelasan tersebut Malik sangat mmenyesal. Ia menyadari bahwa anak
itu telah di dorong Allah untuk mengucapkan kata-kata itu.
“Ya Allah,” seru Malik, “sebuah korma pun belum sempat ku makan dan Engkau
menyebutku Yahudi melalui lidah seorrang anak yang tak berdosa. Seandainya
korma-korma ini sempat termakan oleh ku niscaya Engkau akan menyatakan diriku
sebagai seorang kafir. Demi kebesaran-Mu aku bersumpah tidak akan memakan buah
korma untuk selama-lamanya.