Tuesday, October 27, 2015

SYURAIH AL-QADHI BERSAMA ISTERINYA

Ini Syuraih al-Qadhi bersama istrinya. Syuraih adalah seorang tabi’in yang ditunjuk oleh Umar bin Khattab menjadi pejabat hakim di wilayah kekhalifahan Islam.

Setelah Syuraih (seorang tabi’in) menikah dengan seorang wanita bani Tamim, dia berkata kepada Sya’bi (seorang tabi’in), “Wahai Sya’bi menikahlah dengan seorang wanita bani Tamim karena mereka adalah wanita.”

Sya’bi bertanya, “Bagaimana hal itu?”

Syuraih bercerita, “Aku melewati kampung bani Tamim. Aku melihat seorang wanita duduk di atas tikar, di depannya duduk seorang wanita muda yang cantik. Aku meminta minum kepadanya.”

Wanita itu berkata kepadaku, “Minuman apa yang kamu sukai?”

Aku menjawab, “Seadanya.”

Wanita itu berkata, “Beri dia susu. Aku menduga dia orang asing.”

Syuraih berkata, “Selesai minum aku melihat wanita muda itu. Aku mengaguminya. Aku bertanya kepada ibunya tentang wanita itu.”

Si ibu menjawab, “Anakku.”

Aku bertanya, “Siapa?” (maksudnya siapa ayahnya dan bagaimana asal usulnya).

Wanita itu menjawab, “Zaenab binti Hadhir dari bani Hanzhalah.”

Aku bertanya, “Dia kosong atau berisi?” (maksudnya bersuami atau tidak).

Wanita itu menjawab, “Kosong.”

Aku bertanya, “Kamu bersedia menikahkanku dengannya?”

Wanita itu menjawab, “Ya, jika kamu kufu’ (sepadan).

Aku meninggalkannya pulang ke rumah untuk beristirahat siang, tetapi aku tidak bisa tidur. Selesai shalat aku mengajak beberapa orang saudaraku dari kalangan orang-orang yang terhormat. Aku shalat ashar bersama mereka. Ternyata pamannya telah menunggu.

Pamannya bertanya, “Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?”

Aku menjelaskan keinginanku, lalu dia menikahkanku. Orang-orang memberiku ucapan selamat, kemudian acara selesai. Begitu sampai di rumah aku langsung menyesal.

Aku berkata dalam hati, “Aku telah menikah dengan keluarga Arab yang paling keras dan kasar.” Aku ingat kepada wanita-wanita bani Tamim dan mereka keras hatinya.

Aku berniat menceraikannya, kemudia aku berubah pikiran. Jangan ditalak dulu, jika baik. Jika tidak, barulah ditalak.

Berapa hari setelah itu para wanita Tamim datang mengantarkannya kepadaku. Ketika dia didudukkan di rumah, aku berkata kepadanya, “Istriku, termasuk sunnah jika laki-laki bersatu dengan istrinya untuk shalat dua rakaat dan dia pun demikian.”

Aku beridiri shalat, kemudian aku menengok ke belakang, ternyata dia juga shalat. Selesai shalat para pelayannya menyiapkan pakaianku dan memakaikan jubah yang telah dicelup dengan minyak za’faran.

Manakala rumah telah sepi, aku mendekatinya. Aku menjulurkan tangan ke arahnya. Dia berkata, “Tetaplah di tempatmu.”

Aku berkata kepada diriku, “Sebuah musibah telah menimpaku.” Aku memuji Allah dan membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dia berkata, “Aku adalah wanita Arab. Demi Allah, aku tidak melangkah kecuali untuk perkara yang diridhai Allah. Dan kamu adalah laki-laki asing, aku tidak mengenal akhlak kepribadianmu. Katakan apa yang kamu sukai, sehingga aku bisa melakukannya. Katakan apa yang kamu benci, sehingga aku bisa menjauhinya.”

Aku berkata kepadanya, “Aku suka ini dan ini (aku menyebut ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan makanan-makanan yang aku sukai) dan juga membenci ini dan ini.”

Dia bertanya, “Jelaskan kepadaku tentang kerabatmu. Apakah kamu ingin mereka mengunjungimu?”

Aku menjawab, “Aku seorang hakim. Aku tidak mau mereka membuatku jenuh.”

Aku melalui malam yang penuh kenikmatan. Aku tinggal bersamanya selama tiga hari. Kemudian aku pergi ke majlis pengadilan (mulai bekerja kembali). Tidak ada hari yang aku lalui tanpa kebaikan darinya.

Satu tahun kemudian (setelah pernikahan kami), tatkala aku pulang ke rumah, aku melihat seorang wanita tua yang memerintah dan melarang, ternyata itu adalah ibu mertuaku.

Aku berkata kepada ibu mertuaku, “Selamat datang.”

Ibu mertua berkata, “Wahai Abu Umayyah, apa kabarmu?”

Aku menjawab, “Baik, alhamdulillah.”

Ibu mertua bertanya, “Bagaimana istrimu?”

Aku menjawab, “Wanita terbaik dan teman yang menyenangkan. Ibu telah mendidiknya dengan baik dan mengajarkan budi pekerti dengan baik pula kepadanya.”

Ibu mertua berkata, “Seorang wanita tidak terlihat dalam suatu keadaan dimana prilakunya paling buruk kecuali dalam dua keadaan. Jika dia telah memperoleh tempat di sisi suaminya dan jika dia telah melahirkan anak. Jika kamu melihat sesuatu yang membuatmu marah darinya, maka pukullah (dengan pukulan yang membimbing, tidak membekas). Karena laki-laki tidak memperoleh keburukan di rumahnya kecuali dari wanita bodoh dan manja.”

Syuraih berkata, “Setahun sekali ibu mertuaku datang, dia pulang setelah bertanya kepadaku, ‘Bagaimana menurutmu jika kerabatmu ingin mengunjungimu?’ Kujawab, ‘Terserah mereka’.”

Dua puluh tahun aku bersamanya. Aku tidak pernah mencelanya atau marah kepadanya.

Pelajaran dari kisah:
  1. Seorang laki-laki harus religius dan teguh dalam beragama.
  2. Seorang laki-laki harus cepat-cepat menikah jika hatinya telah mencintai seorang wanita, karena dikhawatirkan ia akan terfitnah.
  3. Memilih wanita sebagai istri dan meneliti keluarganya sebelum menikah.
  4. Bertawakkal kepada Allah, tidak takut menghadapi masa depan dan optimis terhadap suksesnya pernikahan.
  5. Menggunakan sarana dialog dan berlemah lembut terhadap istri, terlebih di awal-awal pernikahan untuk mewujudkan saling mencintai di antara suami istri dan menghilangkan rasa takut seorang gadis.
  6. Hendaknya suami istri memperhatikan penampilannya, agar cinta keduanya tetap langgeng dan keduanya terjaga dari hal-hal yang diharamkan yang menggoda mata dan hati.
  7. Perkara penting: Hendaknya seorang wanita mempunyai akal jernih, karena hal itu membantu pemahaman dan mengimbangi suami dalam segala sesuatu yang sesuai dengan tabiat akhlaknya.
  8. Hendaknya suami istri saling memahami semenjak dimulainya kehidupan suami istri. Karena hal itu bisa mewujudkan ketentraman, ketenangan, terhindar dari problem dan perselisihan. Dan hal itu bisa dicapai bila suami menjelaskan kepada istri tentang:
    1. Sifat-sifat buruk yang tidak ingin dimiliki oleh seorang istri.
    2. Prilaku-prilaku yang tidak disukainya pada diri wanita secara umum, agar sang istri menghindarinya sebisa mungkin.
    3. Siapa saja dari teman-temannya yang boleh berhubungan dengannya, baik dari keluarga, tetangga atau teman-teman. Suami memiliki hak penuh dalam menentukan siapa yang boleh masuk rumahnya dan siapa yang dikunjungi oleh istrinya atau berhubugan dengannya.
    4. Hendaknya istri berusaha memasak makanan kesukaan suami dan menjauhi apa yang tidak disukainya. Memakai warna yang dia sukai dan menjauhi yang dibencinya. Karena istri berbusana untuk suami dan itu termasuk berhiasnya seorang wanita bagi suaminya.
    5. Hendaknya istri memperhatikan ucapan suami dengan sebaik-baiknya. Hal itu akan membantunya untuk memahami dan mengerti maksudnya, sehingga dia bisa menunaikan perintahnya dengan baik.
    6. Kewajiban istri untuk taat kepada suami dalam setiap perintahnya, tanpa membantah, selama suami tidak memerintahkannya kepada apa yang menyelisihi perintah Allah Tabaraka wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallah ‘alaihi wa sallam.
    7. Keluarga istri mempunyai kedudukan dan penghormatan dari pihak suami. Hanya saja hal itu bukan alasan yang membolehkan mereka untuk mengunjungi anak mereka tanpa izin dan ridha suaminya. Oleh karena itu, hendaknya istri mengetahui sejauh mana kesediaan suami menerima kunjungan salah seorang keluarganya di rumah suaminya. Perkaranya tidak memerlukan pertanyaan, orang berakal bisa mengerti, walaupun dari ucapan yang tidak berterus terang. Karena sebagian istri marah jika suami menyatakan keberatannya secara terang-terangan atas keluar masuknya salah seorang keluarganya. Suami pulang hendak mencari ketenangan di rumahnya, dia memendam hal ini karena takut istrinya marah. Suami diam, tetapi ia tertekan. Ini jelas-jelas mempengaruhi keharmonisan hubungan suami istri dan menjadi penyebab terjadinya sengketa di antara mereka berdua setelah kunjungan sanak kerabat tersebut.
    8. Ibu yang shalehah dan wanita pendidik yang berhasil, pengaruhnya membekas pada diri putrinya. Seorang ibu berusaha agar rumah tangga putrinya langgeng dan berhasil. Karena hal itu termasuk kewajibannya yang penting setelah anaknya pindah ke rumah suaminya, ibu tidak berpartisipasi dalam rumah tangga putrinya kecuali dalam keadaan darurat dan demi meraih kebaikan hubungan suami –istri. Dalam hal ini, sang ibu harus menghindari perasaan yang tidak sepatutnya dalam setiap perselisihan yang didengannya dari pernikahan anaknya.
    9. Ancaman memukul tidak secara otomatis digunakan dalam memperbaiki hubungan suami istri.
    10. Seorang wanita yang lulus dari rumah yang mendidiknya dengan baik dengan nilai-nilai luhur dan pemahaman-pemahaman bisa membantu membangun kehidupan rumah tangga yang sehat dan tentram.
    11. Jika suami dan istri berprilaku seperti yang dijelaskan, niscaya keduanya akan mengenyam kehiduapan rumah tangga yang bahagia. Istri tidak menemui hal-hal yang mengotori kebahagiannya. Suami berbahagia dengan istrinya yang shalehah dan bisa membahagiakannya.
    12. Hendaknya suami tidak memanjakan istri dan mencari ridhanya secara berlebih-lebihan. Karena jika seorang wanita melihat kedudukannya dan posisinya di sisi suaminya begitu dimanja, niscaya dia akan tinggi hati dan sombong, dan mungkin saja menjadikannya tidak menggubris ucapan suami yang marah kepadanya karena kesalahannya. Hendaknya suami bisa menata perasaannya kepada istri dengan baik.
    13. Suami yang berbahagia di rumah akan berhasil pula dalam pekerjaannya.
Inilah pedoman yang harus dimengerti dan dipahami dengan baik oleh seorang wanita, sebagai pijakan cahaya dalam hidupnya. Mengabdilah dengan baik kepada suamimu, niscaya kamu berbahagia dan mendapatkan suami yang berbahagia dan berhasil dalam pekerjaannya.

Sumber: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf

ORANG YANG TIDAK TAKUT DENGAN KEMATIAN

Dia adalah Sa’id bin Jubair, pewaris ilmu Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Salah seorang yang paling alim di kalangan tabi’in. Beliau ditemani Abdurrahman bin al-Asy’ats ketika melawan pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan lantaran berbuat sewenang-wenang dan keterlaluan dalam melakukan pembunuhan. Pada saat Ibnul Asy’ats terkalahkan dalam perang Dairul Jamajim dan terbunuh, Sa’id tertangkap di Makkah. Gubernur Makkah yang ketika itu dijabat oleh Khalid bin Abdullah al-Qasri yang menangkapnya.
Ia dibawa menghadap kepada Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.

Lantas Hajjaj bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”

Ia menjawab, “Sa’id bin Jubair.”

Hajjaj berkata, “Bukan, kamu adalah Syaqi bin Kusair.”

Ia menanggapi, “Ibuku lebih mengetahui namaku daripada dirimu.”

Hajjaj menambahkan, “Celaka ibumu dan juga kamu.”

Ia menjawab, “Yang mengetahui hal ghaib bukanlah kamu.”

Hajjaj berkata, “Sungguh, saya akan mengganti duniamu dengan api yang menyala-nyala.”

Ia berkata, “Seandainya aku mengetahui hal tersebut, pastilah saya menjadikanmu sebagai Tuhan.”

Hajjaj berkata, “Apa pendapatmu mengenai Muhammad?”

Ia menjawab, “Beliau adalah Nabi yang membawa kasih sayang dan pemimmpinnya orang yang mendapat petunjuk.”

Hajjaj melanjutkan, “Apa pendapatmu mengenai Ali? Apakah ia di surga atau di neraka?”

Ia menjawab, “Jika engkau telah masuk ke dalam neraka dan kamu mengetahui siapa yang berada di dalamnya, pastilah engkau mengetahui penduduk neraka.” Hajjaj bertanya lagi, “Apa pendapatmu mengenai para khalifah?”

Ia menjawab, “Saya bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.” Hajjaj melanjutkan,

“Siapakah di antara mereka yang paling engkau sukai?”

Ia menjawab, “Orang yang paling diridhai oleh Sang Penciptaku.”

Hajjaj bertanya, “Siapa orang yang paling diridhai oleh Sang Pencipta?”

Ia menjawab, “Pengetahuan mengenai hal ini ada di sisi Dzat yang mengetahui rahasia dan bisikkan mereka.”

Hajjaj berkata, “Saya ingin engkau jujur kepadaku.”

Ia menjawab, “Jika saya tidak menjawab pertanyaanmu, berarti saya tidak berdusta kepadamu.’

Hajjaj berkata, “Mengapa engkau tidak tertawa?”

Ia menjawab, “Bagaimana bisa tertawa seorang makhluk yang diciptakan dari tanah sedangkan tanah dapat dilalap api.”

Hajjaj berkata, “Bagaimana dengan kami yang bisa tertawa?”

Ia menjawab, “Karena hati manusia tidaklah sama.”

Hajjaj hendak membujuk Sa’id dengan keindahan dan permainan dunia. Lantas ia memerintahkan agar didatangkan mutiara, zamrud, dan permata. Semua benda tersebut dikumpulkan di hadapannya.

Sa’id berkata kepada Hajjaj, “Jika engkau mengumpulkan semua ini agar engkau terlindungi dari ketakutan pada Hari Kiamat, maka bagus. Jika tidak demikian, maka hal ini akan menjadi sebauh teror di mana semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya. Tidak ada kebaikan sedikit pun dalam sesuatu yang dikumpulkan hanya untuk dunia kecuali harta yang baik dan dizakati.”

Lantas Hajjaj menyuruh agar diambilkan alat musik gambus dan seruling. Ketika kecapi itu dimainkan dan seruling ditiup, Sa’id menangis, lalu Hajjaj bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Apakah permainan musik ini?”

Sa’id menjawab, “Yang membuatku menangis ialah kesedihan. Tiupan tersebut mengingatkanku akan hari agung, yaitu hari sangkakala ditiup. Sedangkan kecapi tersebut berasal dari pohon yang ditebang tanpa hak, tali senarnya berasal dari kulit kambing yang akan dibangkitkan bersamanya pada Hari Kiamat.”

Lantas Hajjaj berkata, “Celakalah engkau Sa’id!”

Sa’id menimpali, “Tidak ada celaka bagi orang yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.’

Lalu Hajjaj berkata, “Pilihlah Sa’id!” (maksudnya, pilihlah dengan cara apa saya membunuhmu).

Ia menjawab, “Terserah kamu sendiri, hai Hajjaj! Demi Allah, Engkau tidak akan membunuhku melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan membunuhmu dengna cara yang sama di akhirat.”

Hajjaj berkata, “Apakah kamu ingin saya ampuni?”

Ia menjawab, “Sesungguhnya ampunan ialah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan kamu tidak mempunyai hak membebaskan dan memberi ampunan.”

Hajjaj berkata kepada tentaranya, “Bawalah ia pergi, lalu bunuhlah dia.”

Ketika Sa’id dibawa keluar, ia tertawa. Lantas Hajjaj diberitahu mengenai hal ini, lalu Sa’id dibawa kembali lagi.

Hajjaj bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa?”

Ia menjawab, “Saya takjub pada kelancanganmu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kesabaran-Nya terhadapmu.”

Hajjaj berkata, “Bunuhlah dia!”

Lalu Sa’id mengucapkan: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An’am: 79)

Hajjaj berkata, “Hadapkanlah wajahnya ke selain arah kiblat.”

Lalu Sa’id mengucapkan:“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaahaa: 55)

Hajjaj berkata, “Sembelih dia!”

Sa’id berkata, “Sesungguhnya saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang benar selain Allah Yang Esa. Tiada sekutu baginya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ambillah dariku sampai engkau bertemu denganku pada hari Kimat.”
Kemudian Sa’id berdoa, “Ya Allah! Janganlah engkau memberinya kesempatan untuk membunuh seorang pun setelah aku.”

Sa’id dibunuh pada bulan Sya’ban tahun 96 H. Setelah itu Hajjaj meninggal dunia pada bulan Ramadhan pada tahun itu juga. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberinya kesempatan untuk membunuh seorang pun setelah Sa’id hingga ia meninggal dunia.

Pada saat Sa’id disembelih, ternyata darahnya mengalir sangat banyak. Lantas Hajjaj memanggil para dokter. Ia menanyakan kepada mereka mengenai Sa’id dan orang-orang yang telah ia bunuh sebelumnya. Sesungguhnya orang-orang yang dibunuh sebelum Sa’id, darahnya yang mengalir hanya sedikit. Lantas para dokter menjawab, “Ketika Sa’id dibunuh, nafasnya masih bersamanya. Darah itu mengikuti nafas. Sedangkan selain Sa’id, ternyata nafasnya telah hilang lantaran ketakutan. Oleh karena ituah darah yang mengalir hanya sedikit.”

Ketika Hasan al-Basri mengetahui bahwa Hajjaj telah membunuh Sa’id bin Jubair dengan cara disembelih, maka ia berdoa, “Ya Allah! Binasakanlah orang fasik yang keterlaluan itu. Demi Allah, seandainya semua yang ada di antara langit dan bumi bekerja sama untuk membunuh Sa’id. Pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menceburkan mereka semua ke dalam neraka.”

Ketika Hajjaj menjelang kematiannya, ia mengalami pingsan kemudian sadar kembali dan berujar, “Apa yang terjadi pada diriku dan Sa’id bin Jubair?”

Pada saat sakit, ketika tidur ia pernah bermimpi melihat Sa’id sedang memegang ujung pakaiannya dan berkata kepadanya, “Hai musuh Allah! Dalam rangka apa kamu membunuhku?”

Lantas ia pun terbangun dalam keadaan ketakutan. Ia berkata, “Apa yang terjadi pada diriku dan Sa’id bin Jubair?”

Setelah Hajjaj meninggal dunia ia dimimpikan di dalam tidur, lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang diperbuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapmu?”

Ia menjawab, “Dia membunuhku untuk setiap orang-orang yang kubunuh. Dan Dia membunuhku sebanyak 70 kali karena saya membunuh Sa’id bin Jubair.”

Sa’id bin Jubair merupakan salah seorang yang paling hafal Alquran al-Karim dan sangat mengetahui tafsir sebagaimana ia juga orang yang paling mengetahui hadis, halal, dan haram.

Wafa’ bin Iyas berkata, “Pernah suatu hari Sa’id berkata kepadaku pada bulan Ramadhan, ‘Pertahankanlah untuk terus membaca Alquran.’

Makanya, beliau tidak beranjak dari tempatnya sebelum mengkhatamkan Alquran. Sa’id berkata mengenai dirinya sendiri, “Saya membaca Alquran secara keseluruhan di dalam dua rekaat shalat sunah di Baitullah yang mulia.”

Semoga Allah merahmatinya dan memberinya pahala.

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1
 

JIN YANG SOLEH MENGAMALKAN KETAATAN

Tidak semua jin yang didakwahi mau mengikuti dan beriman. Di antara mereka ada yang shalih dan ada yang tidak. Mereka menempuh jalan yang berbeda-beda. Seperti juga manusia, ada yang mau mengikuti kebenaran dengan baik, adapula yang membangkang.

Di antara jin ada yang taat dan ada pula yang menyimpang dari kebenaran. Jin yang taat adalah yang benar-benar memilih jalan yang lurus. Kemudian ia akan mendapat surga dan segala yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan untuk kaum yang shalih.
Sedangkan yang menyimpang dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia akan menjadi bahan bakar bagi neraka Jahannam.

Golongan jin yang beriman adalah golongan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk mereka agar tidak mencuri berita dari langit. Sedangkan golongan yang membangkang dan tidak mau beriman masih terus membantu para dukun. Mereka menuri berita dari langit meskipun harus menghadapi para malaikat dan panah-panah api.

Jin yang Shalih Menyimak Alquran dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Setelah jin-jin yang pertama kali mendengar Alquran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan dakwah kepada kaumnya, terbagilah kaum jin menjadi golongan yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan golongan yang membangkang.

Golongan yang beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jin-jin yang beriman itu berbondong-bondong mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan Alquran kepada mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memenuhi permintaan mereka.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak shahabat yang mau mengikuti beliau.

Namun hanya shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang mengikutinya. Mereka berdua menuju ke sebuah tempat yang tinggi di daerah Mekah. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatkan garis untuk Abdullah bin Mas’ud dengan menggunakan kakinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu Mas’ud agar tidak keluar dari garis itu, karena kalau keluar dari garis itu ia bisa mendapatkan bahaya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu meninggalkan Ibnu Mas’ud, lalu berdiri dan mulai membaca Alquran. Tiba-tiba beliau dikerumuni oleh makhluk yang jumlahnya banyak. Makhluk-makhluk itu menghalangi Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu sehingga dia tidak bisa melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bisa mendengar suara beliau.

Setelah beberapa lama berselang, makhluk-makhluk itu pergi berkelompok-kelompok seperti awan yang berbondong-bondong, tetapi masih tersisa sekelompok kecil dari mereka. Ketika fajar menyingsing, sekelompok kecil jin itu pun pergi meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah kamu tertidur?”

Ibnu Mas’ud menjawab, “Tidak.”

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan lagi, “Sesungguhnya berkali-kali saya ingin meminta bantuan kepada orang-orang, tapi saya mendengarmu memberikan isyarat dengan suara tongkat kepada jin-jin itu agar mereka duduk.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Bila engkau keluar dari garis itu, aku tidak bisa menjamin engkau selamat dari sambaran sebagian mereka.”

Jin yang Shalih Senantiasa Belajar Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Pada hari yang lain, para shahabat tidak melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa saat lamanya. Lalu mereka mencari-cari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pelosok kota dan lembah-lembah. Hingga di antara para shahabat ada yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diculik.

Ketika telah subuh, tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul dari arah Goa Hira..

Para sahabat mengatakan, “Kami kehilangan engkau, lalu kami mencari-cari di seluruh pelosok kota dan lembah, namun tidak juga kami temukan. Sehingga malam ini menjadi malam yang teramat mencekam bagi kami.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada para shahabat:, “Salah seorang dai dari kalangan jin mendatangiku. Lalu aku pergi bersamanya, kemudian aku membacakan Alquran kepada mereka.”

Kemudian beliau menunjukkan kepada para shahabat jejak dan bekas tempat duduk yang berupa api.

Bekal Makanan Jin dan Tunggangannya

Pada kisah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kita mengetahui bahwa sebelum fajar masih ada sebagian jin yang tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain jin-jin itu belajar Alquran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka juga bertanya tentang bekal yang bisa mereka makan dan makanan untuk kendaraan mereka.

Juga pada kisah para shahabat mencari-cari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada para jin bahwa yang bisa mereka gunakan sebagai bekal adalah tulang-tulang binatang yang disembelih dengan menyebut Nama Allah. Sedangkan makanan untuk tunggangan mereka adalah kotoran binatang.

Karena jin ketika mendapatkan tulang, mereka akan mendapatkan pula dagingnya sebagaimana ketika dimakan. Juga ketika mendapatkan kotoran binatang, mereka akan mendapatkan bijinya sebagaimana ketika dimakan.

Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita menggunakan tulang dan kotoran binatang untuk membersihkan kotoran manusia, karena ia menjadi bekal makanan bagi jin-jin yang beriman dan tunggangan mereka. Di samping juga kotoran binatang itu sifatnya kotor.


Sawad bin Qarib Radhiallahu ‘Anhu dan Jin yang Shalih

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah, ada seorang dukun di negeri Yaman, ia bernama Sawad bin Qarib. Kita simak saja Sawad bin Qarib radhiallahu ‘anhu menceritakan jin yang mengajaknya masuk Islam: Pada suatu malam ketika aku sedang dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba-tiba jin yang sering memberitahuku datang.

Ia membangunkanku dengan kakinya, lalu ia berkata: “Wahai Sawad bin Qarib pahamilah, dan pikirkanlah bila engkau memang bisa berpikir.

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari keturunan Luai bin Ghalib telah diutus. Ia mengajak (umat manusia) kepada Allah dan kepada peribadatan kepada-Nya saja.”

Kemudian jin itu menyampaikan bait-bait syair berikut: “Aku heran terhadap jin dan kabar beritanya. Ia mengencangkan tali onta dengan pelananya. Ia meluncur ke Kota Mekah untuk mencari hidayah. Tidaklah jin yang baik itu sama dengan jin yang jahat. Pergilah kepada orang pilihan dari keturunan Hasyim. Dan tataplah dengan keuda matamu ke arah kepala onta itu.”

Ketika itu aku tidak mempedulikan ucapannya. Aku katakan kepadanya, “Biarkan aku tidur, karena sore ini aku sangat mengantuk.”

Pada malam kedua ia mendatangiku lagi dan membangunkanku dengan menggunakan kakinya, ia mengatakan kepadaku, “Wahai Sawad bin Qarib bukankah aku telah mengatakan kepadamu bangun dan pahamilah, pikirkanlah bila engkau memang bisa berpikir, seorang utusan Allah dari keturunan Luai bin Ghalib telah diutus, ia menyeru kepada Allah dan beribadah hanya kepada-Nya.

Lalu jin itu kembakli mengucapkan syair-syair berikut: “Aku heran terhadap jin dan upayanya. Ia mengencangkan tali onta untuk bersafar. Ia meluncur ke Kota Mekah untuk mencari hidayah. Tidaklah jin yang jujur itu sama dengan jin yang pendusta.

Pergilah kepada orang pilihan dari keturunan Hasyim. Ia berada di antara onta-onta dan pengawalnya.”

Pada hari kedua itu aku masih juga tidak mempedulikannya.

Namun pada malam ketiga ia mendatangiku lagi dan membangunkanku dengan kakinya. Ia mengatakan kepadaku, “Wahai Sawad bin Qarib bukankah aku telah mengatakan ‘pahamilah dan pikirkanlah bila engkau bisa berpikir, bahwasanya seorang utusan Allah dari keturunan Luai bin Ghalib telah diutus untuk berdakwah kepada Allah dan peribadatan-Nya.”

Lalu jin itu melantunkan syair berikut, “Aku heran terhadap jin dan berita yang ia bawa. Menghela ontanya dengan menaiki pelana. Ia meluncur ke Kota Mekah untuk mencari hidayah. Tidaklah jin yang beriman sama dengan jin yang kafirnya. Pergilah kepada orang pilihan dari keturunan Hasyim. Tidak orang yang permulaan sama dengan yang belakangan.”

Sawad berkata lagi, “Terjadilah dalam diriku kecintaan kepada Islam, dan aku menjadi sangat menginginkannya. Ketika telah pagi, aku mengencangkan tali kekang ontaku untuk menuju Mekah.

Di tengah perjalanan aku diberi tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah hijrah ke Madinah. Lalu akupun menuju ke Madinah. Sampailah aku di Madinah, dan aku bertanya tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikatakan kepadaku ia sedang berada di masjid. Lalu aku berhenti di masjid, aku menambatkan ontaku, dan aku masuk masjid.

Di dalam masjid ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat bersama beliau. Aku katakan: Dengarkanlah ucapanku wahai Rasulullah. Lalu Abu Bakar radhiallahu ‘anhu mengatakan, ‘Mendekatlah kepada beliau.’ Ia masih terus mengatakan ‘mendekatlah’ hingga aku berada di hadapannya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan, ‘Sampaikanlah, dan kabarkanlah kepadaku tentang jinmu yang mendatangimu’.”

Ringkas cerita, Sawad menyampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia didatangi oleh jin pembantunya selama tiga hari berturut-turut memberitahukan adanya seorang utusan Allah dari keturunan Luai bin Ghalib.

Setelah itu Sawad mengucapkan syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Dzat Yang Maha Perkasa. Bergembiralah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat dengan keislamannya.

Setelah Sawad bin Qarib masuk Islam, jin itu tidak lagi mendatanginya, dan Sawad lebih senang dengan teman penggantinya yang lebih baik, yaitu Alquran yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikianlah jin yang shalih, ia akan mengajak kepada kebaikan, dan mengajak orang kepada Islam.
Mereka juga ikut serta dalam perang membela Islam. Mereka tidak suka mengganggu manusia. Tidak membantu orang dalam kejahatan. Dan mereka senantiasa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sumber: Kisah Jin Menyimak Al Qur’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fathul Mujib bin Bahruddin, Gema Ilmu